David Livingstone adalah seorang misionaris yang dilahirkan pada 19
Maret 1813 di kota Blantyre, Lanarkshire, Skotlandia. David kecil adalah anak
kedua dari tujuh bersaudara pasangan Neil Livingstone (1788-1856) — seorang
guru sekolah minggu — dan istrinya Agnes Hunter (1782-1865). Sebagai seorang
Kristen yang taat, sang ayah telah memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap David Livingstone ketika dia masih muda.
Terlahir pada masa revolusi industri di
Inggris, memaksa David Livingstone bekerja di sebuah pemintalan kapas selama
empat belas jam sehari dengan gaji hanya lima shilling per minggu. Jam kerja
yang menyita sebagian besar waktunya membuatnya terpaksa bersekolah pada malam
hari di Blantyre Village School. Keluarga Livingstone bukanlah sebuah keluarga
yang mengedepankan pendidikan, David Livingstone harus menabung sedikit demi
sedikit sebelum akhirnya melanjutkan studi ke Anderson`s College di Glasgow
pada tahun 1836 dan memerdalam pengetahuannya dalam bidang kedokteran dan
penginjilan.
Cita-citanya kala itu adalah menjadi seorang
tenaga medis di Cina. Hal ini dipengaruhi oleh seruan seorang misionaris
berkebangsaan Jerman bernama Karl Gutzlaff mengenai kurangnya utusan
penginjilan dalam bidang medis di Cina. Pada musim gugur 1838, David Livingstone
diterima di London Missionary Society (LMS). David sangat berharap LMS akan
mengirimnya ke daratan Cina sebagai tenaga medis. Sayangnya, perang candu
pertama yang pecah di bulan September 1839, tidak memungkinkan David
Livingstone melakukan pelayanan ke Cina. Akhirnya, Livingstone untuk sementara
menetap di Inggris sambil melanjutkan studinya.
DAVID LIVINGSTONE DAN PENGINJILAN
Pelayanan David yang pertama berawal dari
perkenalannya dengan Robert Moffat pada tahun 1840. Pertemuan mereka telah
menggugah hati David Livingstone untuk menjadi relawan dan pergi melayani di
bagian selatan benua Afrika. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, David
Livingstone menerima tawaran dari LMS dan bertolak dari Inggris pada Desember
1840 dan tiba di Pangkalan Kuruman pada tahun 1841. Dia mendarat di Benua Hitam
dengan membawa “sextant” (semacam kompas), beberapa lembar buku, alat
peneropong, dan obat-obatan. Kerinduannya yang terbesar adalah melayani di
daerah-daerah yang belum terjamah oleh orang kulit putih.
Setelah beristirahat beberapa hari di
Kuruman, David Livingstoe melanjutkan perjalanan ke Lepelole. Suku yang
mendiami daerah Lepelole adalah suku Bakwena. Sebagai salah satu media
penginjilan, David Livingstone mempelajari bahasa daerah setempat. Namun,
keadaan keamanan kurang mendukung di daerah ini, David menyadari bahwa setiap
kali dia selesai berkhotbah, banyak orang-orangnya yang dibunuh, ditangkap,
atau diusir oleh suku lain. Sebagai jalan keluar, akhirnya pada tahun 1844,
David memutuskan untuk pergi ke arah utara, menuju Mabotsa.
Pada tahun 1844, daerah Mabotsa didiami oleh
orang-orang Bakhatla. Selama berada di Mabotsa, David sering memberitakan
tentang Yesus sambil berkumpul dengan orang Bakhala di antara api unggun. Lagu
gereja pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal adalah “There Is a
Fountain Filled With Blood”. Di tempat inilah terjadi peristiwa yang mengubah
hidup David. Dia diserang oleh seekor singa yang meremukkan bahu kirinya.
Akibatnya sungguh fatal karena sepanjang sisa hidupnya, David Livingstone
hampir tidak bisa menggunakan tangan kirinya lagi. Di Mabotsa, David menikah
dengan putri Robert Moffat yang bernama Marry.
Ketika kelompok misi yang baru tiba di
Mabotsa, David pindah ke daerah Chonuane yang didiami oleh orang-orang Kwena.
Pada suatu hari, kepala suku yang bernama Sechele memanggil semua anggotanya
untuk berkumpul dan mendengarkan khotbah David Livingstone. Hatinya tergerak
dan bertobat, sejak saat itu dia menjadi seorang Kristen yang taat. Karena
dorongannya, banyak anggota suku yang pergi ke sekolah-sekolah misi.
Musim kering yang berkepanjangan dan
menipisnya persediaan air di Chonuane memaksanya untuk pergi ke daerah Kolobeng
pada tahun 1847. Saat David pergi ke Kolobeng, dia menyadari bahwa banyak orang
mengikutinya. Kebanyakan orang-orang tersebut merasa tidak bisa hidup jauh dari
David yang mengobati mereka, mengajarkan membaca, dan terutama menceritakan
Yesus yang ajaib. Di Kolobeng, mereka mendirikan sebuah sekolah kecil.
Masa kekeringan tidak berakhir sampai di sini
saja. Beberapa tahun ke depan, hujan sangat jarang turun di Kolobeng. Tanah
menjadi kering, bahkan air sungai tidak mengalir. Agar bisa selamat dari
bencana kekeringan ini, mereka harus pergi ke daerah Makololo dan melewati
gurun Kalahari. Dengan dibantu oleh kedua rekannya yang bernama William C.
Oswell dan Mungo Murray, David Livingstone melakukan perjalanan melewati gurun
Kalahari dan menemukan Danau Ngami.
Keinginan David Livingstone untuk melakukan
penginjilan lebih lagi ke daerah utara semakin menggebu. Tapi, David menyadari
bahwa istri dan anak-anaknya tidak dapat mengikutinya. Oleh karena itu, dia
memutuskan untuk memulangkan keluarganya ke Inggris, sedangkan dia sendiri
tetap melanjutkan misinya.
Dalam penginjilannya, David Livingstone
selalu menekankan betapa pentingnya mengerti budaya lokal dan kepercayaan
masyarakat untuk membuat mereka tertarik terhadap kekristenan. David
Livingstone menyadari bahwa kekristenan adalah sebuah ancaman besar bagi
masyarakat Afrika. Terutama jika berhubungan dengan upacara tradisional yang
menyatukan masyarakat melalui budaya poligami yang dipraktikkan di Afrika.
Padahal itu dilarang oleh kekristenan. David Livingstone juga mengalami
kesulitan dalam hal bahasa, karena bahasa lokal tidak mengenal kata kasih dalam
konsep Allah maupun kata dosa.
PERJALANAN TERUS BERLANJUT
Apa yang dicapai oleh David Livingstone
selama perjalanannya, yaitu menemukan daerah-daerah baru. Karena menemukan
daerah-daerah baru, ditemukan pula pengetahuan alam yang baru, seperti
binatang-binatang baru, tumbuh-tumbuhan yang lain, keadaan alam yang berbeda,
dan sebagainya. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Peta
Afrika pertama yang dibawanya dulu, tidak berisi apa pun mulai dari Kuruman
hingga Timbuktu, tapi berkat jasanya, peta itu kini telah terisi daerah-daerah
secara terperinci dan lengkap. Di tanah airnya, dia disambut sebagai pahlawan
nasional dan dielu-elukan oleh masyarakat Inggris. Namun, kepulangannya pada
Desember 1856 mengakibatkan perbedaan pendapat antara dia dan LMS yang telah
mengutusnya, dan perbedaan itu terus meruncing. David ingin kembali lagi ke
Afrika untuk membuka jalur perdagangan dan kekristenan di sana, tapi dia
menyadari bahwa LMS tidak akan membantunya dalam hal penjelajahan dan ekonomi.
Memanasnya hubungan David dengan LMS itu membuatnya memutuskan untuk melepaskan
diri dari yayasan tersebut.
David Livingstone mewujudkan keinginannya
untuk kembali lagi ke Afrika dengan bantuan biaya dari pemerintah Inggris dan
mengepalai tim ekspedisinya sendiri. Selama lima tahun, David Livingstone
melakukan penjelajahan ke daerah Afrika Timur dan Tengah untuk kepentingan
pemerintah Inggris.
Dalam ekspedisinya yang kedua ini, David
Livingstone harus menelan pil pahit dan menerima kenyataan bahwa ekspedisi ini
tidak berjalan seperti yang diinginkannya. David Livingstone membuat keputusan
yang salah tentang sungai Zambesi dan riam-riam di Cabora Bassa. Kapal-kapal
uap pada masa itu ternyata tidak sanggup mengarungi riam-riam tersebut dan
memaksanya berpaling ke sungai Shire yang mengalir di sebelah utara sungai
Zambesi menuju Danau Malawi. Tapi sebelum sempat terlaksana, pemerintah Inggris
memaksa mereka untuk pulang pada tahun 1863. Ekspedisinya yang kedua dianggap
sebagai sebuah kegagalan dan pemerintah Inggris sudah tidak tertarik untuk
kembali membiayai ekspedisinya.
Setelah melakukan usaha penggalangan dana
yang sulit, David Livingstone kembali lagi ke Afrika pada tahun 1866. Tujuan
David Livingstone kali ini untuk mencari muara sungai Nil. Petualangannya
membawa David Livingstone ke sungai Lualaba. Ia mengira telah menemukan
tujuannya, padahal sebenarnya sungai Lualaba adalah hulu sungai Kongo.
Walau melakukan kekeliruan tentang sungai
Nil, namun penemuan geografisnya merupakan harta karun yang tak ternilai bagi
ilmu pengetahuan di barat kala itu. Dia menemukan Danau Ngami, Danau Malawi,
dan Danau Bangweulu. Tidak hanya itu, David Livingstone juga berjasa memetakan
Danau Tangyika, Danau Mweru, dan beberapa jalur sungai, terutama hulu sungai
Zambesi.
DAVID LIVINGSTONE DAN PERBUDAKAN
Walau David Livingstone dikenal sebagai
seorang penginjil, tapi dia juga memiliki andil yang sangat besar dalam
usahanya untuk menghapus perbudakan di Afrika.
Pada saat kuliah, David Livingstone kerap
mengikuti perkuliahan yang diadakan oleh Ralph Wardlaw, seorang pemimpin yang
pada masa itu secara gigih mengampanyekan anti perbudakan di London. Ketika dia
memutuskan untuk pergi ke Afrika Selatan, dia tidak hanya mendapat pengaruh
dari Robert Moffat. Dia juga dipengaruhi sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang
penganut Abolosianisme (azas yang membela penghapusan perbudakan) yang bernama
T.F. Buxon. T.F. Buxon menyebutkan bahwa perbudakan di Afrika dapat dihapuskan
dengan membuka sebuah jalur perdagangan yang sah dan penyebaran ajaran Kristen
di tanah Afrika.
Ketika melakukan perjalanan ke utara untuk
membuka ladang pelayanan baru, Livingstone menjatuhkan pilihan di kedua sisi
sungai Zambesi. Alasan yang mendasari pilihan David Livingstone adalah karena
daerah ini memiliki penduduk yang lebih padat dan berada di luar jangkauan
pedagang budak. David Livingstone juga melihat Sungai Zambesi sebagai sebuah
alternatif dibukanya jalur perdagangan yang sah untuk menghalau pedagang budak
dari daerah itu.
Surat, buku, dan jurnal-jurnal milik David
Livingstone merangsang publik untuk menentang dan menghapus perbudakan. Salah
satu bukunya yang terkenal diterbitkan pada tahun 1857 dan sampai saat ini
masih dicetak ulang berjudul “Missionary Travels and Researches in South
Africa”. Buku ini menceritakan pengalamannya dalam mengajarkan bahwa Allah itu
kasih kepada bangsa kanibal di Afrika.
Tahun-tahun terakhir David Livingstone
dilalui dengan penjelajahan ke daerah-daerah yang belum pernah dilaluinya
antara Danau Malawi dan Tanganyika. David Livingstone kehilangan hubungan dengan
dunia luar selama kurang lebih enam tahun. Hanya satu dari empat puluh empat
suratnya yang sampai ke Zanzibar. Berbagai tim ekspedisi dikirim oleh
pemerintah Inggris untuk menemukan David Livingstone. Henry Morton Stanley dan
timnya yang dikirim oleh surat kabar The New York Herald, menemukan David
Livingstone di sebuah kota yang bernama Ujiji pada 10 November 1871.
David Livingstone meninggal dunia di Chitambo
pada 1 Mei 1873 karena menderita penyakit malaria dan pendarahan internal yang
disebabkan oleh disentri. David Livingstone menghembuskan napas terakhirnya
sambil berlutut di samping tempat tidur dalam posisi berdoa. Dua pembantu
setianya yang bernama Susi dan Chuma mengubur jantung dan organ-organ tubuh
bagian dalam David Livingstone di bawah pohon mvula. Jasadnya dibalsam dan
dikeringkan di bawah sinar matahari untuk akhirnya dipulangkan ke Inggris.
Perjalanan yang dibutuhkan untuk membawa jenazah David Livingstone kembali ke
Inggris memakan waktu sembilan bulan. Setelah tiba di Inggris, jenasahnya
disemayamkan di Westminster Abbey pada 18 April 1874.
“Saya akan memberitahu kalian apa yang
menopang saya di tengah semua kerja keras dan penderitaan dan kesepian yang tak
dapat saya gambarkan beratnya. Yang menopang saya adalah sebuah janji, janji
seorang beradab yang paling terpuji dan sakral, ialah janji, `Ketahuilah, Aku
akan menyertaimu senantiasa, sampai kepada akhir zaman.`” (Matius 28:20).
(David Livingstone)